BERITA TERBARULENSA FORUMADIL

PEMUSNAHAN ASET BUDAYA

oleh : Reiner Emyot Ointoe, Fiksiwan

FORUMADIL, Manado – “Hilangnya artefak yang dijarah oleh negara lain ini pernah menempatkan Italia pada posisi yang kurang menguntungkan secara ekonomi dan politik dibandingkan dengan negara-negara Eropa Utara.” — Fiona Greenland (50), Ruling Culture: Art Police, Tomb Robbers, and the Rise of Cultural Power in Italy (2021).

Pemusnahan Taman Budaya milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, yang kini berada di bawah pengelolaan Dinas Kebudayaan, merupakan sebuah tragedi kebudayaan yang tak bisa dibiarkan berlalu tanpa refleksi kritis.

Menurut laporan Barta1.com, Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Provinsi Sulut telah menetapkan bahwa lahan Taman Budaya akan dialihfungsikan menjadi SPBU, yang tentu saja akan dikelola oleh pihak swasta.

Keputusan ini bukan hanya soal alih fungsi lahan, tetapi menyangkut hilangnya jejak sejarah, artefak, dan ruang ekspresi budaya yang telah menjadi bagian dari identitas kolektif masyarakat Sulawesi Utara.

Dalam konteks hukum, tindakan ini bertentangan dengan semangat dan isi UndangUndang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, khususnya pasal yang secara tegas melarang pemusnahan aset budaya.

UU ini menempatkan aset budaya sebagai bagian dari kekayaan nasional yang harus dilindungi, dilestarikan, dan dimajukan. Juga, Perda Pemajuan Kebudayaan Daerah yang sudah disahkan oleh DPRD Provinsi Sulut pada 2024 silam.

Pemusnahan Taman Budaya bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga pengingkaran terhadap amanat konstitusional untuk menjaga warisan budaya bangsa.

Sejarah berdirinya Taman Budaya di berbagai provinsi, termasuk Sulawesi Utara, tidak bisa dilepaskan dari proyek kebudayaan nasional yang mulai digagas sejak era Orde Baru.

Seperti diulas oleh Tom Jones (50) dalam Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era Reformasi (2015), Taman Budaya didirikan sebagai ruang representasi negara terhadap keragaman budaya lokal.

Jones, peneliti kebijakan budaya asal Australia, dosen dan peneliti di bidang cultural policy studies, khususnya mengenai Indonesia, mengatakan:

“Taman Budaya didirikan sebagai bagian dari proyek negara untuk mengatur dan menampilkan keragaman budaya daerah dalam format yang sesuai dengan ideologi nasional.”

Ia juga menyoroti bahwa Taman Budaya bukan sekadar ruang seni, tetapi juga arena politik budaya, tempat negara memediasi antara ekspresi lokal dan narasi kebangsaan.

Ia mencatat bahwa sejak era Orde Baru, Taman Budaya berfungsi sebagai panggung representasi resmi, di mana seni tradisional dipilih, dikurasi, dan dipertunjukkan dalam kerangka yang mendukung stabilitas, identitas nasional, dan juga membentuk kesadaran kebangsaan.

Menghapus Taman Budaya berarti menghapus ruang di mana Indonesia dirayakan dalam bentuk paling otentik dan lokal.Lebih jauh, dalam Ruling Culture, Fiona Greenland mengulas bagaimana penjarahan aset budaya warisan dunia seringkali dilakukan atas nama pembangunan dan modernisasi.

Greenland juga menggambarkan bagaimana penghilangan aset budaya—baik melalui penjarahan, alih fungsi, atau pengabaian—dapat melemahkan posisi suatu bangsa secara ekonomi dan politik.Ia menunjukkan bahwa artefak bukan sekadar benda seni, tetapi juga simbol kekuasaan, identitas, dan legitimasi sejarah.

Di lain hal, ia menekankan bahwa ketika negara gagal membedakan antara aset ekonomi dan aset budaya, maka yang terjadi adalah penghilangan identitas.

Dalam kasus Sulawesi Utara, pembangunan SPBU di atas lahan Taman Budaya adalah contoh nyata dari logika ekonomi yang menyingkirkan logika kebudayaan.

SPBU mungkin menghasilkan keuntungan finansial, tetapi kehilangan Taman Budaya berarti kehilangan ruang ingatan, kehilangan tempat belajar, dan kehilangan simbol kebanggaan daerah.

Pemusnahan aset budaya bukan hanya soal bangunan yang diratakan atau artefak yang dibuang.Ia adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap sejarah, terhadap komunitas seniman, dan terhadap generasi mendatang yang berhak mewarisi kekayaan budaya daerahnya.

Di tengah dunia yang semakin borderless, seperti yang dikemukakan oleh Kenichi Ohmae, identitas lokal justru menjadi semakin penting sebagai jangkar dalam arus globalisasi.

Taman Budaya adalah jangkar itu. Dan ketika jangkar dicabut, kita tidak hanya kehilangan tempat, tetapi juga arah.Kini, lebih dari sekadar protes, yang dibutuhkan adalah kesadaran kolektif bahwa kebudayaan bukan beban, melainkan aset strategis bangsa.

Pemusnahan Taman Budaya Sulut harus menjadi titik balik untuk menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan warisan budaya.Sebab bangsa yang kehilangan jejak budayanya adalah bangsa yang kehilangan dirinya sendiri.

#coverlagu: Lagu Seni (Cipt. Guruh Soekarnoputra) dilantunkan oleh Chrisye dan dirilis tahun 1983. Lagu ini menampilkan nuansa filosofis tentang makna seni dalam kehidupan manusia dan masyarakat, dengan aransemen khas era 80-an yang elegan dan reflektif.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button