BERITA TERBARUDUNIA

Piagam Hamas dan Luka Palestina: Antara Ideologi, Korban, dan Harapan Perdamaian

FORUMADIL, Palestina – Di sebuah gang sempit di Gaza, Fatimah (nama samaran) masih menyimpan foto suaminya yang tewas pada 2007. Bukan karena serangan udara Israel, melainkan akibat bentrokan berdarah antar sesama warga Palestina. Suaminya, seorang simpatisan Fatah, ditangkap dan kemudian dinyatakan meninggal di tangan aparat keamanan Hamas. “Kami sama-sama orang Palestina. Tapi mengapa yang membunuhnya justru orang sendiri?” ucapnya lirih.

Cerita Fatimah bukan satu-satunya. Sejak Hamas mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza pada 2007, luka internal di Palestina semakin dalam. Organisasi yang awalnya dikenal sebagai gerakan perlawanan terhadap Israel, berubah menjadi penguasa otoriter di Gaza. Di bawah bayang-bayang Piagam Hamas 1988, kekerasan justru menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya) adalah gerakan Islam Palestina yang lahir saat Intifada Pertama. Hamas lahir pada 1987 dari rahim Ikhwanul Muslimin.

Selama lebih dari tiga dekade Hamas berperan ganda: sebagai organisasi perlawanan/militer (sayap militer: Brigade Izz ad-Din al-Qassam) dan sebagai aktor politik/pemerintah lokal (menguasai Jalur Gaza sejak 2007).

Pandangan internasional terhadap Hamas sangat terpolarisasi: sebagian negara melihatnya sebagai organisasi teroris, sementara sebagian warga Palestina melihatnya sebagai kekuatan perlawanan terhadap pendudukan.

1) Sejarah singkat dan struktur organisasi

Hamas muncul dari jaringan sosial-keagamaan Ikhwanul Muslimin pada masa Intifada 1987, menyediakan layanan sosial dan memobilisasi massa sekaligus membangun kapasitas militer. Secara organisasi ada elemen politik (kepemimpinan, partai, lembaga sosial) dan elemen militer yang menjalankan operasi terhadap Israel. Setelah kemenangan elektoral 2006 dan perebutan Gaza 2007, Hamas mengokohkan kontrol administratif dan keamanan atas Jalur Gaza, memisahkan dari otoritas Fatah/Pemerintah Otoritas Palestina di Tepi Barat.

2) Piagam Hamas 1988 — isi pokok dan implikasinya

Piagam yang Menjadi Sekat :

Bagi sebagian orang Palestina, piagam ini menjadi simbol perlawanan. Namun, bagi banyak pihak lain—termasuk Mahmoud Abbas dan Otoritas Palestina—dokumen itu adalah penghalang besar menuju perdamaian. Abbas berulang kali menegaskan bahwa tanpa jalan diplomasi, penderitaan rakyat hanya akan terus berulang.Piagam 1988 (The Covenant) adalah dokumen ideologis pendirian yang sangat religius dan konfrontatif.

Dalam dokumen ini Hamas:

Menegaskan Islam sebagai sumber utama pandangan politik dan strategi perjuangan; Menyatakan seluruh Palestina sebagai waqf (milik Islam) dan menolak kompromi yang melepaskan bagian tanah; Mengorientasikan perjuangan sebagai jihad melawan “Zionis/Israel” dan memuat pasal-pasal yang oleh banyak pihak ditafsirkan antisemitik.

Piagam ini memberi dasar legitimasi ideologis bagi aksi-aksi bersenjata dan menempatkan konflik dalam kerangka religius yang luas, membuat posisi Hamas terhadap solusi diplomatik menjadi sangat sulit untuk dimoderasi jika hanya merujuk pada dokumen 1988 itu sendiri.

3) Dokumen 2017 — pergeseran retorika, bukan pencabutan piagam

Pada 2017 Hamas menerbitkan “A Document of General Principles and Policies” — dokumen yang memakai bahasa lebih politis dan pragmatis: menyebut konflik melawan “Zionisme/proyek Zionis” bukan melawan Yahudi sebagai agama, dan menyatakan penerimaan atas gagasan negara Palestina pada batas 1967 sebagai “konsensus nasional” (meski tidak mengakui Israel). Dokumen 2017 dipandang sebagai upaya pragmatis untuk meredam kritik internasional dan menempatkan Hamas pada posisi tawar politik, tetapi dokumen itu tidak mencabut Piagam 1988 sehingga tetap ada ambiguitas legal-ideologis dalam posisi resmi Hamas.

4) Korban internal — saat Hamas menindas atau berkonflik dengan warga Palestina sendiri, ada beberapa jalur di mana warga Palestina menjadi korban akibat tindakan Hamas:

a. Perebutan Gaza 2007 (Fatah vs Hamas)

Pertikaian kekerasan pada Juni 2007 menghasilkan ratusan korban. Laporan-laporan mencatat ratusan tewas (kombatan dan sipil) dan ratusan luka. Perebutan ini meninggalkan pembelahan politik yang bertahan sampai sekarang antara Gaza (Hamas) dan Tepi Barat (PNA/Fatah).

b. Eksekusi, penahanan, dan pembunuhan terhadap yang dituduh “kolaborator”

Dalam periode konflik besar (mis. 2008–2009; 2014) sejumlah laporan HRW dan Amnesty mendokumentasikan bahwa aparat keamanan Hamas melakukan eksekusi di luar proses peradilan, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap mereka yang dituduh bekerja sama dengan Israel atau merupakan lawan politik. HRW melaporkan eksekusi dan penyiksaan selama kekacauan perang 2008–2009, termasuk eksekusi sekitar puluhan orang yang diduga kolaborator. Amnesty juga melaporkan kampanye penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang selama konflik 2014.

c. Represi terhadap aktivis, jurnalis, dan pembangkang

Hamas menjalankan kontrol ketat atas kebebasan publik di Gaza: penahanan aktivis, pembatasan media, intimidasi lawan politik, dan penggunaan pengadilan militer atau mekanisme non-adil untuk menindak kritikus. Laporan-laporan HAM menekankan kurangnya akuntabilitas (jarang ada penyelidikan independen atau pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukan aparat Hamas).

5) Angka — seberapa banyak? (konteks & keterbatasan data). Menentukan “berapa banyak warga Palestina yang dibunuh oleh Hamas sendiri” menghadapi batasan dokumentasi:

Banyak korban yang terkait konflik Israel–Hamas tercatat oleh PBB/organisasi kemanusiaan sebagai akibat operasi militer Israel (jumlahnya jauh lebih besar).

Untuk korban langsung oleh Hamas (eksekusi, pembunuhan internal), laporan HRW/Amnesty menyebut puluhan hingga ratusan kasus terverifikasi dalam titik-titik konflik (mis. pasca-2008, 2014, dan beberapa eksekusi yang dilaporkan sekitar 2010–2011), tetapi tidak ada angka agregat yang terkenal dan terverifikasi yang menjumlahkan semua periode sejak 2007. Sederhananya: jumlah korban internal yang disebabkan langsung oleh tindakan aparat Hamas terverifikasi berkisar pada puluhan—hingga bila memasukkan bentrokan 2007, ratusan—tetapi bukan dalam skala ribuan sebagaimana korban konflik keseluruhan di Gaza.

6) Isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling sering dilaporkan. Dari laporan organisasi HAM internasional muncul pola berulang:

Eksekusi tanpa proses pengadilan yang adil dan pelanggaran hak tersangka; Penyiksaan dan perlakuan kejam terhadap tahanan politik; Pembungkaman kebebasan pers dan intimidasi terhadap jurnalis; Kurangnya akuntabilitas, sedikit atau tidak ada penyelidikan independen terhadap pelanggaran oleh aparat Hamas.

Organisasi-organisasi seperti Human Rights Watch dan Amnesty menyerukan moratorium terhadap eksekusi dan penyelidikan independen di Gaza karena kegagalan sistem peradilan lokal memastikan hak proses hukum.

7) Propaganda dan manajemen narasi (atas Israel dan di arena internasional). Hamas memakai strategi komunikasi yang berlapis:

Narasi korban & penderitaan: menonjolkan dampak serangan Israel terhadap warga Gaza (gambar reruntuhan, korban sipil) untuk menggalang simpati internasional;

Legitimasi moral perlawanan: penegasan bahwa tindakan bersenjata adalah bagian dari hak pembebasan tanah yang diduduki;

Kultus martir & pahlawan: memuliakan mereka yang gugur dalam serangan terhadap Israel;

Pemanfaatan media sosial: menyebarkan klip video, kesaksian warga, dan materi visual untuk membentuk opini global dan domestik.Analisis media baru menunjukkan bagaimana platform digital menjadi medan pertempuran narasi—baik untuk menyebarkan pesan Hamas maupun untuk kampanye lawan/penyensoran yang dilancarkan oleh platform besar. Kajian juga menyorot bagaimana pesan ini diproduksi untuk konsumsi lokal (legitimasi).

8) Dampak terhadap warga Palestina dan perspektif politik domestik. Penguasaan Hamas atas Gaza membawa konsekuensi ganda:

stabilitas relatif dalam tatanan keamanan lokal (setelah konsolidasi) tetapi juga otoritarianisme yang menekan hak sipil;

Reaksi internasional terhadap pelanggaran HAM oleh Hamas cenderung kurang keras dibanding komplain terhadap pelanggaran oleh negara karena dinamika politik—namun lembaga HAM tetap mendokumentasikan dan mengecam praktek sewenang-wenang Hamas;

Di bawah tekanan ekonomi, blokade, dan serangan berulang, warga Gaza menghadapi krisis kemanusiaan yang diperburuk oleh kebijakan keamanan internal dan kurangnya akuntabilitas.

9) Kesimpulan analitis — nuansa yang penting

1. Hamas adalah aktor kompleks: sekaligus gerakan sosial-keagamaan, organisasi militan, dan penguasa lokal. Karakter multinasinya menuntut analisis lebih dari sekadar label “teroris” atau “pejuang.”

2. Piagam 1988 menempatkan Hamas pada posisi ideologis yang keras; dokumen 2017 mereduksi retorika tapi tidak menghapus akar ideologis 1988 — sehingga ada celah antara retorika politik dan dokumen pendirian.

3. Korban internal akibat tindakan Hamas memang ada: eksekusi, penyiksaan, penindasan terhadap lawan politik dan tuduhan kolaborator telah terjadi dan didokumentasikan; namun jumlah absolut korban internal yang tewas oleh Hamas lebih kecil dibanding jumlah besar korban sipil Palestina yang jatuh akibat operasi militer Israel dalam konflik berkepanjangan.

4. Isu HAM dan propaganda saling terkait: narasi perlawanan membantu meraih simpati tetapi tidak membebaskan Hamas dari tanggung jawab atas pelanggaran HAM internal yang dilaporkan.

Korban di Tangan Sendiri

Tidak semua korban di Palestina jatuh akibat serangan Israel. Laporan Human Rights Watch (2012) menuding Hamas telah melakukan eksekusi di luar hukum terhadap sedikitnya 18 warga yang dituduh menjadi kolaborator[^1]. Amnesty International (2015) mengungkapkan praktik penyiksaan terhadap ratusan tahanan politik, kebanyakan dari kubu Fatah[^2].

Bentrokan bersenjata Hamas dan Fatah pada 2007 menewaskan lebih dari 600 orang Palestina dalam beberapa bulan saja, menurut laporan Al Jazeera (2016)[^3]. Angka-angka ini menunjukkan, luka yang diderita rakyat Palestina tidak hanya karena Israel, tetapi juga akibat konflik internal yang dipicu Hamas.

Abbas vs Hamas: Dua Jalan yang Berbeda

Perbedaan strategi terlihat jelas. Mahmoud Abbas, pemimpin Otoritas Palestina, memilih diplomasi dan perundingan internasional. Abbas percaya bahwa jalan kekerasan hanya memperburuk penderitaan rakyatnya. Dalam wawancara dengan BBC (2018), ia menuding Hamas sebagai penghalang utama rekonsiliasi Palestina[^4].

Hamas, sebaliknya, tetap mengandalkan serangan roket, bom, dan terowongan bawah tanah. Serangan ini kerap menjadi dalih bagi Israel untuk melakukan operasi militer besar-besaran di Gaza—yang akhirnya menghantam warga sipil tak bersalah. Siklusnya selalu sama: Hamas menyerang, Israel membalas, rakyat yang menderita.

Jalan Buntu Perdamaian

Hari ini, setiap kali dunia menyaksikan ledakan di Gaza, seringkali narasi yang muncul adalah “Israel menyerang Palestina”. Tetapi, pertanyaan yang jarang diucapkan adalah: apa yang memicu serangan itu? Banyak operasi militer Israel justru dimulai sebagai respons atas roket yang ditembakkan Hamas.

Itulah sebabnya perdamaian sulit tercapai. Selama Hamas masih berpegang pada piagam lama dan tidak mau menyerahkan senjatanya, proses rekonsiliasi nasional akan terus buntu. Masyarakat internasional perlu melihat kenyataan secara utuh: penderitaan rakyat Palestina adalah akibat dari dua sisi—blokade dan serangan Israel di satu sisi, dan kekerasan internal Hamas di sisi lain.

Harapan Baru?

Ada harapan tipis ketika Hamas mengeluarkan dokumen politik baru pada 2017 yang sedikit melunakkan sikap mereka, termasuk menerima Palestina dalam perbatasan 1967. Namun, perubahan itu belum nyata di lapangan. Serangan roket terus diluncurkan, operasi Israel terus berlangsung, dan warga sipil terus menjadi korban.

Jika Hamas benar-benar ingin menjadi bagian dari solusi, mereka harus berani meninggalkan piagam lama, menghentikan serangan bersenjata, dan menerima rekonsiliasi dengan Otoritas Palestina. Tanpa itu, rakyat Palestina akan terus hidup dalam lingkaran kekerasan tanpa akhir.

Fatimah menutup albumnya dengan mata berkaca-kaca. “Saya ingin anak-anak saya hidup damai. Bukan dibunuh oleh Israel, bukan juga oleh orang Palestina sendiri.”(Hen)

Catatan Sumber[^1]:

Human Rights Watch (2012) – Gaza: Hamas Executions, Torture, Arbitrary Arrests → https://www.hrw.org/news/2012/10/23/gaza-hamas-executions-torture-arbitrary-arrests[^2]: Amnesty International (2015) – Palestine: Hamas must end attacks on freedom of expression in Gaza → https://www.amnesty.org/en/latest/news/2015/08/palestine-hamas-must-end-attacks-on-freedom-of-expression-in-gaza/[^3]: Al Jazeera (2016) – Ten years on: The split between Fatah and Hamas → https://www.aljazeera.com/news/2016/6/14/ten-years-on-the-split-between-fatah-and-hamas[^4]: BBC (2018) – Mahmoud Abbas accuses Hamas of undermining Palestinian unity → https://www.bbc.com/news/world-middle-east-43644573

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button