Tuntutan 1,6 Tahun untuk Tiga Terdakwa Hibah GMIM: Pembela Bongkar Fakta yang Diabaikan Jaksa
Kuasa hukum menantang kesimpulan jaksa dan mengungkap fakta sidang yang dianggap tidak masuk dalam tuntutan.

FORUM ADIL, Manado — Sidang kasus dugaan korupsi dana hibah GMIM kembali menjadi pusat perhatian publik Sulawesi Utara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut tiga terdakwa—Jeffry Korengkeng, Steve Kepel, dan Asiano Gamy Kawatu—dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara. Selain pidana tubuh, jaksa juga menuntut denda dan menetapkan para terdakwa tetap berada dalam tahanan selama proses hukum berjalan.
Tuntutan ini memicu reaksi tajam dari tim pembela, khususnya dari kuasa hukum Jeffry Korengkeng. Mereka menilai ada fakta penting persidangan yang tidak masuk dalam uraian jaksa.
Pembela Soroti Pernyataan Jaksa: “Tidak Menikmati Uang Korupsi”
Dalam pembacaan tuntutan, jaksa menyatakan bahwa Jeffry Korengkeng tidak menikmati hasil korupsi.
Pernyataan ini menjadi titik keberatan utama tim pembela. Mereka menilai bahwa pernyataan tersebut justru menguatkan argumen bahwa klien mereka tidak menerima aliran dana hibah tersebut.
Kuasa hukum menyebut bahwa fakta ini seharusnya memperberat pertimbangan jaksa untuk mengurangi atau bahkan membatalkan tuntutan. Karena itu, mereka menilai tuntutan 1,6 tahun tidak mencerminkan konstruksi fakta persidangan.
Keberatan Lain: Kejanggalan Prosedur & Inkonsistensi Saksi
Tim pembela juga menyinggung sejumlah kejanggalan yang muncul dalam proses sidang sebelumnya.
Beberapa saksi memberikan keterangan yang berubah-ubah terkait mekanisme pencairan dana hibah. Inkonsistensi ini telah mendapat perhatian hakim, namun tidak muncul dalam poin tuntutan jaksa.
Selain itu, pembela menyoroti teknis administrasi hibah yang seharusnya berada pada ranah pemerintah daerah, bukan penerima hibah. Mereka menilai bahwa kerancuan prosedur tidak bisa otomatis membebankan kesalahan kepada para terdakwa.
Reaksi Publik dan Dampak terhadap GMIM
Kasus hibah GMIM membawa dampak besar dalam lingkup gereja dan pemerintahan. Jemaat mengikuti proses ini dengan ketat karena dana hibah yang disalurkan pemerintah seharusnya menunjang kegiatan pelayanan, pendidikan, dan sosial.
Tuntutan yang dinilai “tidak sepenuhnya selaras dengan fakta” menimbulkan pertanyaan publik. Banyak pihak berharap persidangan mengungkap alur distribusi dana secara jelas agar kepercayaan jemaat tidak semakin turun.
Analisis FORUM ADIL
Kasus hibah GMIM berada pada titik krusial. Fakta bahwa salah satu terdakwa disebut “tidak menikmati uang korupsi” mengubah narasi besar kasus ini.
Hal ini membangun pertanyaan penting:
- Apakah seluruh posisi terdakwa sama kuatnya dalam struktur dugaan tindak pidana?
- Apakah mekanisme hibah yang rumit mengaburkan perbedaan antara kesalahan administratif dan tindak pidana?
- Mengapa inkonsistensi saksi dan fakta persidangan tidak memberi pengaruh signifikan pada tuntutan?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut menjadi kunci bagi publik untuk memahami arah putusan nantinya.
Sidang akan berlanjut dengan agenda pembelaan (pledoi) dari masing-masing terdakwa. Publik Sulawesi Utara menantikan apakah majelis hakim akan mempertimbangkan fakta-fakta yang disebut pembela sebagai “diabaikan”, atau tetap mengikuti konstruksi tuntutan jaksa.
Kasus hibah GMIM bukan hanya soal hukum. Ini soal kepercayaan publik, integritas lembaga, dan kepastian penggunaan dana hibah di Sulawesi Utara.



