DPR Sahkan UU KUHAP Baru: Mulai Berlaku 2 Januari 2026, Pakar Soroti Potensi Perluasan Kewenangan Aparat
Pembaruan hukum acara pidana digadang memperkuat perlindungan hak tersangka, namun sejumlah pakar mengingatkan potensi celah penyalahgunaan.

FORUM ADIL, Jakarta — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna, Senin (18/11). KUHAP baru tersebut akan mulai berlaku penuh pada 2 Januari 2026, berbarengan dengan implementasi KUHP nasional yang juga telah mendapat persetujuan legislatif.
Pengesahan ini menandai berakhirnya era KUHAP lama yang telah diterapkan sejak 1981 sebuah regulasi yang selama empat dekade menjadi landasan proses penyidikan, penahanan, penuntutan, hingga persidangan. Pemerintah dan DPR menyebut revisi besar ini sebagai kebutuhan mendesak untuk menghadapi tantangan hukum modern, digitalisasi bukti, dan perlindungan hak warga negara.
Perubahan Penting dalam KUHAP Baru
Pemerintah menegaskan bahwa KUHAP baru mengusung pendekatan moderat: memperkuat hak tersangka sekaligus memberikan landasan prosedural yang lebih modern bagi aparat penegak hukum. Beberapa perubahan kunci antara lain:
- penguatan hak pendampingan hukum sejak awal proses pemeriksaan,
- penerapan CCTV mandatory di ruang pemeriksaan untuk mencegah kekerasan,
- penataan mekanisme praperadilan agar lebih efektif menguji legalitas penangkapan, penahanan, dan penyitaan,
- percepatan proses penyidikan dengan prosedur digitalisasi dokumen,
- perluasan penggunaan keadilan restoratif untuk perkara tertentu,
- perlindungan bagi penyandang disabilitas dalam proses pemeriksaan.
Komisi III menambahkan bahwa seluruh aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) akan disusun dalam tenggat waktu transisi sehingga tidak ada kekosongan hukum selama awal penerapan.
Kekhawatiran Perluasan Kewenangan Aparat: Pakar Minta Pengawasan Ketat
Meski membawa banyak pembaruan, sejumlah pakar hukum pidana dan lembaga masyarakat sipil mengingatkan bahwa KUHAP baru memiliki beberapa pasal yang berpotensi memberi ruang lebih luas bagi kewenangan aparat, terutama pada tahap awal penyidikan.
Beberapa poin yang disorot pakar:
- Penangkapan dan penahanan lebih awal dimungkinkan sebelum proses verifikasi bukti dilakukan secara ketat.
- Ruang diskresi penyidik dalam tindakan tertentu dianggap lebih longgar dibandingkan KUHAP sebelumnya.
- Mekanisme praperadilan aktif yang dijanjikan tetap disebut “belum memiliki batasan teknis yang tegas”.
- Penggunaan bukti elektronik, digital tracking, dan penyadapan masih berada dalam area yang membutuhkan harmonisasi dengan UU lain.
Akademisi hukum dari berbagai kampus negeri mengingatkan bahwa perluasan kewenangan tanpa kontrol proporsional berpotensi menimbulkan penyalahgunaan, terutama pada kasus-kasus sensitif yang menyangkut kebebasan sipil. Mereka menegaskan bahwa peran hakim, pengawasan internal aparat, dan akses bantuan hukum harus diperkuat agar tidak terjadi ketimpangan kekuasaan.
Transisi Menuju 2026: Tantangan Besar di Lapangan
Kementerian Hukum dan HAM menyebut 2026 sebagai tahun penentuan implementasi KUHAP baru. Tantangan utama mencakup:
- kesiapan aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam menyesuaikan SOP baru,
- kapasitas SDM dalam memahami peralihan hukum acara,
- kesiapan infrastruktur digital untuk proses administrasi elektronik,
- sinkronisasi aturan pelaksana yang harus diterbitkan sebelum awal tahun.
Sejumlah pengamat menilai bahwa transisi satu tahun ini tergolong pendek mengingat perubahan regulasi yang sangat besar. Tanpa kesiapan sistemik, dikhawatirkan implementasi KUHAP baru justru menimbulkan kebingungan pada tahap awal.
Harapan Publik: Reformasi Peradilan Harus Nyata, Bukan Sekadar Tekstual
Masyarakat berharap perubahan KUHAP ini bukan sekadar pergantian istilah atau penyusunan ulang pasal, melainkan perubahan nyata dalam cara kerja aparat dan kualitas perlindungan terhadap warga negara.
Pakar menekankan bahwa transparansi menjadi kunci keberhasilan. Pemerintah diminta membuka proses penyusunan aturan turunan dan memastikan ruang partisipasi publik agar implementasi nanti sesuai prinsip hak asasi manusia dan akuntabilitas.
Pengesahan KUHAP baru menjadi salah satu tonggak penting reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, kekhawatiran mengenai adanya potensi perluasan kewenangan aparat tanpa kontrol memadai menjadi pengingat bahwa perubahan besar ini harus diawasi ketat. Tahun 2026 akan menjadi ujian bagi sejauh mana negara mampu memberikan keadilan yang lebih tangguh, transparan, dan selaras dengan kebutuhan zaman.(Hen)



