BERITA TERBARUSULUT

Usai Penetapan 5 Tersangka, Aktivis Desak Penyelidikan Hibah GMIM di Daerah

FORUMADIL, MANADO — Gelombang pengungkapan kasus dugaan korupsi dana hibah kepada GMIM oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Pemprov Sulut) yang telah menyeret lima orang sebagai tersangka, kini memunculkan desakan baru dari kalangan masyarakat sipil. Irjen Pol Roycke Langie, Kapolda Sulut, diminta segera memperluas penyelidikan hingga menyasar pemberian hibah serupa oleh pemerintah kota dan kabupaten.

Desakan ini datang dari aktivis peneliti Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah (J.P.K.P) Sulut, Hendra Lumempouw. Dalam pernyataannya, Lumempouw meminta penyidik Polda Sulut segera melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket) atas dugaan penyimpangan dana hibah kepada GMIM yang bersumber dari tujuh pemerintah daerah sejak tahun 2021.

“Jika dikembangkan, penetapan lima tersangka oleh Polda atas kasus dana hibah Pemprov Sulut seharusnya menjadi pintu masuk untuk menyelidiki juga hibah dari tujuh daerah lainnya. Ini penting untuk menjamin bahwa uang rakyat digunakan secara akuntabel,” tegas Lumempouw, yang dikenal vokal dalam mengawal isu-isu korupsi di Sulut.

Ia menyebutkan, daerah-daerah yang patut disorot antara lain Kota Manado, Bitung, Tomohon, serta Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara (Minut), Minahasa Selatan (Minsel), dan Minahasa Tenggara (Mitra). Semua daerah ini, menurutnya, pernah menyalurkan dana hibah kepada GMIM.

Lumempouw menyinggung kembali persoalan dana hibah GMIM dari Pemerintah Kota Manado pada tahun 2022, yang sempat menjadi sorotan publik. Kala itu, Pemkot Manado merevisi Peraturan Wali Kota (Perwako) Nomor 34 Tahun 2021 yang sempat “mensejajarkan” GMIM dengan organisasi bentukan pemerintah seperti KONI, KNPI, dan Pramuka.

Perwako yang diteken oleh Wali Kota Andrei Angouw dan Sekda Manado Micler Lakat itu menuai kritik tajam. Meski pemerintah saat itu mengklaim hanya terjadi kesalahan redaksional, publik mempertanyakan landasan hukum pemberian hibah kepada GMIM, yang secara struktur bukanlah organisasi bentukan pemerintah.

“Menganggap ini hanya kesalahan redaksional adalah bentuk pengabaian terhadap akuntabilitas. Maka penyidik sebaiknya bertindak. Lakukan penyelidikan agar kita tahu, apakah ada pelanggaran atau tidak. Minimal, transparansi dana masyarakat bisa diaudit secara jujur,” ujar Lumempouw lantang.

Sebagai respons atas polemik itu, Pemkot Manado akhirnya mencabut Perwako 34/2021 melalui Perwako 26 Tahun 2022. Namun perubahan regulasi itu justru mengindikasikan adanya kejanggalan awal dalam proses pemberian hibah, terutama terkait status hukum GMIM sebagai penerima.

Dalam Perwako 34/2021, GMIM dikategorikan sebagai organisasi bentukan pemerintah sehingga bisa menerima hibah beruntun tanpa jeda waktu satu tahun. Namun dalam Perwako 26/2022, kategori tersebut diubah menjadi “badan atau lembaga atau organisasi kemasyarakatan” secara umum — menghapus keistimewaan sebelumnya.

“Artinya, saat menerima hibah pada 2021, GMIM tidak berstatus sebagai organisasi bentukan pemerintah. Ini menjadi celah yang sangat penting untuk diselidiki secara hukum,” ujar Lumempouw.

Sementara itu, Kadis Komunikasi dan Informasi Kota Manado, Erwin Kontu, pada Oktober 2022 pernah menyatakan bahwa perubahan regulasi itu hanya bersifat administratif. Namun bagi aktivis seperti Lumempouw, perubahan tersebut justru memperkuat dugaan awal adanya kejanggalan dalam pemberian hibah kepada GMIM.

Desakan Lumempouw mencerminkan harapan publik bahwa proses hukum berjalan tanpa pandang bulu. “Kami berharap Polda Sulut tidak berhenti pada kasus di provinsi saja. Kota dan kabupaten harus diselidiki secara tuntas demi keadilan dan akuntabilitas penggunaan uang rakyat,” pungkasnya.

Kini, bola panas berada di tangan aparat penegak hukum. Apakah penyelidikan akan diperluas? Ataukah kasus hibah yang berbau skandal ini kembali akan ditelan waktu seperti isu-isu besar sebelumnya?(Icad)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button