Bajaj Tak Urgen di Manado, Sejumlah Kota Besar Justru Melarang

FORUMADIL, Manado – Gagasan untuk mengoperasikan bajaj sebagai moda transportasi alternatif di Kota Manado patut dikaji secara cermat. Sebagai peneliti sekaligus pengawas kebijakan publik, saya menilai bahwa kehadiran bajaj di Manado tidaklah urgen dan bahkan dapat merusak estetika serta arah pembangunan kota yang tengah menuju sistem transportasi yang lebih modern dan ramah lingkungan.
Jika berkaca pada beberapa kota besar di Indonesia, bajaj justru tidak lagi menjadi pilihan moda transportasi umum yang relevan. Beberapa kota bahkan secara tegas melarang kehadirannya dengan alasan keselamatan, estetika, dan efisiensi transportasi. Kota-kota tersebut di antaranya:
Surabaya: Bajaj dilarang beroperasi karena dianggap tidak sesuai dengan visi transportasi modern dan menimbulkan kebisingan serta polusi.
Bandung: Tidak mengizinkan bajaj beroperasi karena ingin menjaga estetika kota dan mengembangkan angkutan publik terintegrasi.
Semarang: Tidak memiliki izin resmi untuk bajaj. Pemkot lebih mengembangkan sistem BRT (Bus Rapid Transit).Denpasar: Tidak memperbolehkan bajaj, terutama karena fokus kota adalah pada transportasi wisata yang ramah lingkungan dan estetis.
Makassar: Pernah ada, namun tidak lagi dikembangkan. Pemerintah kota lebih memilih moda seperti pete-pete smart yang lebih modern.
Balikpapan dan Samarinda: Tidak mengembangkan bajaj karena kontur geografis dan prioritas pada moda yang lebih kuat dan efisien.
Sebagian pihak mungkin beranggapan bahwa bajaj masih relevan karena masih beroperasi di Jakarta. Namun, penting untuk diluruskan bahwa bajaj di Jakarta saat ini dilarang melintas di jalan-jalan utama atau protokol kota.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara tegas membatasi operasional bajaj hanya di Jalan lingkungan padat penduduk, gang sempit, wilayah yang tidak terjangkau oleh kendaraan besar.
Sementara itu, jalan-jalan utama seperti Jalan Sudirman, MH Thamrin, Rasuna Said, dan Gatot Subroto tertutup bagi bajaj. Larangan ini diberlakukan karena bajaj dianggap tidak aman, tidak efisien, dan mengganggu kelancaran lalu lintas.
Bahkan, Pemerintah DKI tengah mendorong konversi bajaj ke versi bajaj listrik sebagai bagian dari transformasi transportasi hijau. Namun, meskipun lebih ramah lingkungan, bajaj listrik pun tetap dibatasi ruang geraknya, dan tidak diizinkan masuk ke jalan-jalan protokol.
Dibandingkan dengan Manado, kondisi sosial dan geografis justru lebih cocok untuk moda transportasi lokal seperti mikrolet, dan ojek daring yang telah lebih dulu akrab dengan masyarakat. Penambahan bajaj hanya akan menambah kompleksitas lalu lintas, terutama jika tidak disertai dengan pengaturan trayek, integrasi sistem transportasi, serta standar emisi kendaraan.
Estetika kota Manado yang sedang dibenahi melalui berbagai proyek infrastruktur, mulai dari jalan boulevard hingga pengembangan kawasan wisata, tidak selaras dengan citra bajaj konvensional yang selama ini identik dengan kesan “kumuh” dan tidak tertib.
Sebagai pengawas kebijakan, saya menilai bahwa energi pemerintah daerah lebih baik difokuskan pada modernisasi angkutan lokal yang sudah ada, seperti peremajaan armada mikrolet menjadi kendaraan listrik, penyediaan jalur khusus bagi transportasi umum, dan pengembangan sistem transportasi terintegrasi antar-kawasan.
Kesimpulannya, kehadiran bajaj di Manado tidak hanya tidak mendesak, tetapi juga berisiko menambah beban tata kota dan merusak estetika kota yang sedang tumbuh.
Keputusan untuk tidak mengadopsi bajaj sejalan dengan langkah yang sudah diambil oleh sejumlah kota besar di Indonesia yang lebih memilih berpindah ke arah transportasi yang ramah lingkungan, efisien, dan modern.
Bahkan, Jakarta yang telah lama memiliki bajaj pun kini mulai membatasi ruang geraknya secara ketat, demi keteraturan kota metropolitan.
Ditulis oleh: Hendra Lumempouw, Peneliti Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Ketua DPW Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah (J.P.K.P) Sulawesi Utara



