AGAMABERITA TERBARU

Ketika Intoleransi Berlindung di Balik Legalitas: Negara Bisu

“Ironisnya, gereja-gereja yang sudah memiliki izin justru dibubarkan atau diprotes dengan alasan “belum lengkap secara administrasi” atau “belum ada restu warga”. Di titik ini, hukum tampak diterapkan secara tidak konsisten — tegas terhadap minoritas, longgar terhadap mayoritas”

FORUMADIL, Manado — Indonesia dikenal sebagai negeri dengan jumlah lembaga keagamaan terbesar di dunia. Data Kementerian Agama (SIMAS) hingga Oktober 2025 mencatat: 315.863 masjid, 387.977 mushola, dan 41.220 pondok pesantren yang menampung lebih dari 4,3 juta santri.

Jika digabung, jumlah tempat ibadah Islam di Indonesia mencapai lebih dari 700 ribu unit — angka yang menggambarkan tingginya semangat keagamaan masyarakat.

Namun dibalik angka tersebut, muncul fakta mencemaskan: sebagian besar bangunan keagamaan belum memiliki izin bangunan (PBG) sebagaimana diwajibkan oleh regulasi nasional. Menurut data Kementerian PUPR yang dikutip Reuters (Oktober 2025), hanya 51 pesantren di Indonesia yang memiliki izin PBG dalam sistem pusat.

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh warganya. Namun di lapangan, jaminan itu sering berakhir di atas kertas. Berbagai kasus di daerah memperlihatkan bagaimana rumah ibadah, terutama gereja, masih menghadapi penolakan dan tekanan, bahkan ketika semua syarat hukum telah dipenuhi.

Baru-baru ini, Kompas.com menurunkan dua laporan yang menggambarkan fenomena ini. Pertama, pembangunan Gereja GBKP di Kalibaru, Depok, diprotes sejumlah warga meski pihak gereja telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kedua, proyek Holyland di Karanganyar dihentikan secara mendadak, meski pelaksana kegiatan disebut telah berizin dan memenuhi ketentuan kompensasi.

Dua peristiwa ini hanyalah bagian kecil dari deretan panjang kasus serupa yang tersebar di berbagai daerah. Dalam banyak kasus, izin yang sah secara hukum justru dijadikan alasan untuk melarang kegiatan keagamaan. Pemerintah daerah, di bawah tekanan kelompok intoleran, sering memilih “menenangkan situasi” ketimbang menegakkan aturan yang jelas.

Padahal, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Selain itu, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 telah mengatur mekanisme pendirian rumah ibadah secara transparan dan berimbang. Tetapi dalam prakteknya, peraturan ini sering berubah menjadi “senjata administratif” yang digunakan untuk membungkam kelompok minoritas.

Legalitas yang Timpang: Ketika Izin Menjadi Alat Intoleransi Beragama di Indonesia

Permasalahan sebenarnya bukan terletak pada izin bangunan, melainkan pada cara izin digunakan untuk menutupi sikap intoleran. Persyaratan “dukungan warga sekitar” atau “rekomendasi FKUB” sering menjadi pintu masuk diskriminasi. Di daerah tertentu, penolakan warga atau tekanan ormas bisa membatalkan izin yang sah, dengan alasan “demi stabilitas dan ketertiban”.

Situasi ini menunjukkan lemahnya posisi pemerintah daerah dalam melindungi hak konstitusional warganya. Alih-alih menegakkan hukum, pemerintah justru mengorbankan prinsip kebebasan beragama demi ketenangan politik lokal.

Pelanggaran terhadap Semangat Pancasila

Kondisi tersebut merupakan bentuk penyimpangan serius terhadap nilai-nilai Pancasila dan konstitusi. Negara seharusnya hadir untuk menjamin kesetaraan dan keadilan bagi semua pemeluk agama — bukan tunduk pada tekanan mayoritas.

Jika negara membiarkan intoleransi berlindung di balik dalih legalitas, maka yang terancam bukan hanya kebebasan beribadah, tetapi juga roh kebangsaan itu sendiri. Pancasila dan UUD 1945 menjadi kehilangan makna ketika hukum diterapkan secara selektif.

Penegakan Keadilan: Jalan Menuju Negara yang Dewasa

Sudah saatnya pemerintah pusat meninjau ulang implementasi PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006, serta memastikan penerapannya tanpa diskriminasi. Kebebasan beragama tidak boleh tergantung pada dukungan warga mayoritas. Hukum harus melindungi hak setiap warga negara untuk beribadah — bukan menjadi alat pembatasan.

Sebab pada akhirnya, negara yang membiarkan ketidakadilan atas nama ketertiban, sedang menyiapkan preseden berbahaya: bahwa suara terbanyak lebih kuat dari hukum, dan tekanan massa lebih berdaulat daripada konstitusi.

Perizinan kerap menjadi “senjata administratif” yang digunakan untuk membatasi kelompok minoritas. Akibatnya, gereja atau tempat ibadah lain yang sudah sah secara hukum masih bisa dibubarkan, diprotes, atau dipaksa berhenti beroperasi.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: Apakah Indonesia benar-benar menjamin kebebasan beragama, ataukah kita masih membiarkan intoleransi hidup di balik wajah legalitas?

Jika negara tidak tegas menegakkan aturan yang sudah jelas, maka yang kalah bukan hanya satu kelompok agama, tetapi prinsip dasar kebangsaan itu sendiri — Pancasila dan UUD 1945.(Hen)

Forum Adil | Analisis

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button